Pages

Sabtu, 26 Mei 2012

Potensi dan bahaya Letusan gunung Gamalama

  1. PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Ternate adalah sebuah pulau yang dapat dikatakan kecil namun mempunyai perkembangan untuk pembangunannya sudah sangat pesat. Disamping itu pulau Ternate juga mempuyai potensi Gunung api, dimana gunung ini dinamakan sebagai Gunung Gamalama, yang mana sudah banyak mengeluarkan atau mengerupsikan baik abu vulkanik maupun Lava yang telah banyak berdampak terhadap lingkungan maupun kehidupan masyarakat kota Ternate khususnya.
Dari sudut pandang geologisnya, pulau Ternate merupakan salah satu dari deretan pulau yang memiliki gunung berapi, dari barisan garis ”strato vulkano active at south pacific” yang melintang di kawasan Asia timur ke Asia tenggara, dari utara ke selatan. Salah satu yang masih aktif di kepulauan Maluku Utara adalah gunung “Gamalama” di pulau Ternate dengan ketinggian 1.730 m. (Bangsa Portugis menyebutnya Nostra Senora del Rozario). Gamalama tercatat pernah beberapa meletuskan semburannya pada tahun 1608, 1635, 1653, 1840 dan 1862. Letusan terhebat yang tercatat terjadi pada pertengahan abad ke-18, tepatnya pada tanggal 10 Maret 1737 yang bertepatan dengan 22 Dzulkaidah 1149.H yang mengakibatkan aliran lahar dari puncak hingga mencapai laut yang dikenal sekarang dengan “Batu Angus”. (sumber; F.S.A. de Clerq, Bijdragen tot de Kennis der Residentie van Ternate, Leiden, 1890).
Letusan gunung api Gamalama beberapa waktu   lalu seakan-akan menghentikan kegiatan yang ada di sekitar gunung Gamalama khususnya Kota Ternate. Dampak yang ditimbulkan tidak begitu seberapa tapi mampu menghentikan kegiatan di berbagai sektor dan seakan – akan letusan gunung Gamalama menjadi sebuah ancaman bagi masyarakat yang berdomisili di sekitar kaki gunung Gamalama.
Gunung Gamalama adalah satu dari sekian gunung yang ada di Maluku Utara yang berpotensi sebagai Gunung api yang sewaktu-waktu akan dapat meletus tanpa bisa tdiprediksikan. Gamalama sampai sekarang sudah tercatat 60 kali letusan terakhir 5 desember 2011 kemarin, letusan yang tidak begitu dahsyat tetapi mampu menggetarkan semua masyarakat kota Ternate. Letusan yang dianggap tidak begitu berbahaya dari letusan-letusan sebelumnya namun gunung Gamalama untuk letusan kali ini telah memuntahkan lahar dinginnya.
Pada dasarnya suatu bencana letusan gunung merapi seperti letusan gunung Gamalama pasti membawa dampak baik positif maupun negatif namun hal itu perlu disadari bahwa sebelum datang dampak yang tidak diinginkan maka sebelumnya perlu suatu terobosan untuk dapat mengurangi dampak dari letusan gunung merapi tersebut.
B.     Permasalahan
Satu permasalahan yang sekarang dihadapi adalah manusia tidak dapat memprediksikan kapan terjadinya bencana, karana pada dasarnya itu merupakan kehendak dari yang kuasa. Namun manusia masih dapat mengurangi dampak dari bencana tersebut. Sebagai contoh letusan gunung merapi merupakan salah satu bencana yang sulit untuk diprediksikan namun kita masih dapat untuk meminimalisir dampak yang ditimbulkan dari letusan gunung merapi tersebut. Gamalama dimulai dari peradaban manusia telah tercatat 60 kali letusan dan telah banyak meninggalkan bukti sejarah. (Sumber: http://indonesiatraveler.blogspot.com/2009/03/batu-angus.html). Sehingga perlunya suatu pengetahuan untuk dapat mengurangi dampak atau bahaya dari gunung merapi, khususnya Gunung Gamalama tersebut.
C.    Tujuan dan Manfaat Penulisan
1.      Tujuan
Tujuan dari penulisan ini adalah :
a.       Untuk mengetahui karakteristik gunung merapi Gamalama serta penanggulangannya.
b.      Untuk memperkenalkan bahayanya gunung merapi secara umum dan khususnya gunung merapi gamalama.
2.  Manfaat
Manfaat dari penulisan ini adalah :
1.      Dapat menambah pengetahuan tentang potensi dan mitigasi  bahaya gunung merapi Gamalama khususnya bagi penulis
2.      Diharapkan menjadi salah satu referensi bagi mahasiswa dan masyarakat kota ternate umumnya tentang bahaya serta karakterisik dari gunung merapi Gamalama.


                                                                                                                                         II.            TINJAUAN PUSTAKA
A.    Karakteristik Gunung Api
Gunung api adalah lubang kepundan atau rekahan dalam kerak bumi tempat keluarnya cairan magma atau gas atau cairan lainnya ke permukaan bumi. Material yang dierupsikan ke permukaan bumi umumnya membentuk kerucut terpancung.
Bentuk dan bentang alam gunung api, terdiri atas : bentuk kerucut, dibentuk oleh endapan piroklastik atau lava atau keduanya; bentuk kubah, dibentuk oleh terobosan lava di kawah, membentuk seperti kubah; kerucut sinder, dibentuk oleh perlapisan material sinder atau skoria; maar, biasanya terbentuk pada lereng atau kaki gunung api utama akibat letusan freatik atau freatomagmatik; plateau, dataran tinggi yang dibentuk oleh pelamparan leleran lava.
Struktur gunung api, terdiri atas : (1) struktur kawah (crater) adalah bentuk morfologi negatif atau depresi akibat kegiatan suatu gunung api, bentuknya relatif bundar; (2) kaldera, bentuk morfologinya seperti kawah tetapi garis tengahnya lebih dari 2 km. Kaldera terdiri atas: (2a.) kaldera letusan, terjadi akibat letusan besar yang melontarkan sebagian besar tubuhnya; (2b.) kaldera runtuhan, terjadi karena runtuhnya sebagian tubuh gunung api akibat pengeluaran material yang sangat banyak dari dapur magma; (2c.) kaldera resurgent, terjadi akibat runtuhnya sebagian tubuh gunung api diikuti dengan runtuhnya blok bagian tengah; (2d.) kaldera erosi, terjadi akibat erosi terus menerus pada dinding kawah sehingga melebar menjadi kaldera; (3) rekahan dan graben, retakan-retakan atau patahan pada tubuh gunung api yang memanjang mencapai puluhan kilometer dan dalamnya ribuan meter. Rekahan paralel mengakibatkan amblasnya blok di antara rekahan disebut graben; (4) depresi volkano-tektonik, pembentukannya ditandai dengan deretan pegunungan yang berasosiasi dengan pembentukan gunung api akibat ekspansi volume besar magma asam ke permukaan yang berasal dari kerak bumi. Depresi ini dapat mencapai ukuran puluhan kilometer dengan kedalaman ribuan meter.
Gunung api diklasifikasikan ke dalam beberapa sumber erupsi, yaitu (1) erupsi pusat, erupsi keluar melalui kawah utama; (2) erupsi samping, erupsi keluar dari lereng tubuhnya; (3) erupsi celah, erupsi yang muncul pada retakan/sesar dapat memanjang sampai beberapa kilometer; dan (4) erupsi eksentrik, erupsi samping tetapi magma yang keluar bukan dari kepundan pusat yang menyimpang ke samping melainkan langsung dari dapur magma melalui kepundan tersendiri.
Berdasarkan tinggi rendahnya derajat fragmentasi dan luasnya, juga kuat lemahnya letusan serta tinggi tiang asap, maka gunung api dibagi menjadi beberapa tipe erupsi: (1) Tipe Hawaiian, yaitu erupsi eksplosif dari magma basaltic atau mendekati basalt, umumnya berupa semburan lava pijar, dan sering diikuti leleran lava secara simultan, terjadi pada celah atau kepundan sederhana; (2) Tipe Strombolian, erupsinya hampir sama dengan Hawaiian berupa semburan lava pijar dari magma yang dangkal, umumnya terjadi pada gunung api sering aktif di tepi benua atau di tengah benua; (3) Tipe Plinian, merupakan erupsi yang sangat eksplosif dari magma berviskositas tinggi atau magma asam, komposisi magma bersifat andesitik sampai riolitik.
Material yang dierupsikan berupa batuapung dalam jumlah besar; (4) Tipe Sub Plinian, erupsi eksplosif dari magma asam/riolitik dari gunung api strato, tahap erupsi efusifnya menghasilkan kubah lava riolitik. Erupsi subplinian dapat menghasilkan pembentukan ignimbrit; (5) Tipe Ultra Plinian, erupsi sangat eksplosif menghasilkan endapan batuapung lebih banyak dan luas dari Plinian biasa; (6) Tipe Vulkanian, erupsi magmatis berkomposisi andesit basaltic sampai dasit, umumnya melontarkan bom-bom vulkanik atau bongkahan di sekitar kawah dan sering disertai bom kerak-roti atau permukaannya retak-retak. Material yang dierupsikan tidak melulu berasal dari magma tetapi bercampur dengan batuan samping berupa litik; (7) Tipe Surtseyan dan Tipe Freatoplinian, kedua tipe tersebut merupakan erupsi yang terjadi pada pulau gunung api, gunung api bawah laut atau gunung api yang berdanau kawah. Surtseyan merupakan erupsi interaksi antara magma basaltic dengan air permukaan atau bawah permukaan, letusannya disebut freatomagmatik. Freatoplinian kejadiannya sama dengan Surtseyan, tetapi magma yang berinteraksi dengan air berkomposisi riolitik.

B.     Pembentukan Gunung Api
Gunung api terbentuk sejak jutaan tahun lalu hingga sekarang. Pengetahuan tentang gunung api berawal dari perilaku manusia dan manusia purba yang mempunyai hubungan dekat dengan gunung api. Hal tersebut diketahui dari penemuan fosil manusia di dalam endapan vulkanik dan sebagian besar penemuan fosil itu ditemukan di Afrika dan Indonesia berupa tulang belulang manusia yang terkubur oleh endapan vulkanik. Sebagai contoh banyak ditemukan kerangka manusia di kota Pompeii dan Herculanum yang terkubur oleh endapan letusan G. Vesuvius pada 79 Masehi. Fosil yang terawetkan baik pada abu vulkanik berupa tapak kaki manusia Australopithecus berumur 3,7 juta tahun di daerah Laetoli, Afrika Timur. Umur fosil dari kerangka manusia tertua yang ditemukan di daerah Olduvai, Homo Babilis, berdasarkan potassium-argon (K-Ar) adalah 1,75 juta tahun. Penemuan fosil yang diduga sebagai manusia pemula Australopithecus afarensis berumur 3,5 juta tahun di Hadar, Ethiopia, dan penanggalan umur benda purbakala tertua yang terbuat dari lava berumur 2,5 juta tahun ditemukan di Danau Turkana, Afrika Timur. Perkembangan benda-benda purba yang ditemukan terkubur di endapan vulkanik, mulai dari yang sederhana kemudian meningkat menjadi benda-benda yang disesuaikan dengan kebutuhan sehari-hari, seperti pemotong, kapak tangan dan lainnya, terbuat dari obsidian yang berumur Paleolitik Atas.
Pengetahuan tentang tektonik lempeng merupakan pemecahan awal dari teka-teki fenomena alam termasuk deretan pegunungan, benua, gempa bumi dan gunung api. Planet bumi mepunyai banyak cairan di bawah permukaan dan air di permukaan. Kedua faktor tersebut sangat mempengaruhi pembentukan dan komposisi magma serta lokasi dan kejadian gunung api.
Panas bagian dalam bumi merupakan panas yang dibentuk selama pembentukan bumi sekitar 4,5 miliar tahun lalu, bersamaan dengan panas yang timbul dari unsur radioaktif alami, seperti elemen-elemen isotop K, U dan Th terhadap waktu. Bumi pada saat terbentuk lebih panas, tetapi kemudian mendingin secara berangsur sesuai dengan perkembangan sejarahnya. Pendinginan tersebut terjadi akibat pelepasan panas dan intensitas vulkanisma di permukaan. Perambatan atau konveksi panas dari dalam bumi ke permukaan, menyebabkan material-material pada dasar mantel, pada kedalaman 2.900 km di bawah muka bumi, menjadi panas dan bergerak menyebar atau menyempit di sekitarnya. Pada bagian atas mantel, sekitar 7-35 km di bawah muka bumi, material-material tersebut mendingin dan menjadi padat, kemudian tenggelam lagi ke dalam aliran konveksi tersebut. (Hanna. 1990)
Litosfir termasuk juga kerak bumi, umumnya mempunyai ketebalan 70-120 km dan terpecah menjadi beberapa fragmen besar yang disebut lempeng tektonik. Lempeng bergerak satu sama lain dan juga menembus ke arah konveksi mantel. Bagian alas litosfir melengser di atas zona lemah bagian atas mantel, yang disebut juga astenosfir. Bagian lemah astenosfir mulai melebur pada saat suhu mendekati pelelehan. Konsekuensinya beberapa bagian astenosfir melebur, dan sebagian besar lainnya masih padat.
Kerak benua sebagai bagian dari kerak bumi mempunyai tebal lebih kurang 35 km, berdensitas rendah dan berumur 1-2 miliar tahun. Sedangkan kerak samudera lebih tipis (lebih kurang 7 km), lebih padat dan berumur tidak lebih dari 200 juta tahun. Kerak benua posisinya lebih di atas dari pada kerak samudera karena perbedaan berat jenis, dan keduanya mengapung di atas astenosfir.

C.    Proses Pembentukan Gunung Api
Pergerakan antar lempeng ini menimbulkan empat busur gunung api berbeda, yaitu busur tengah benua; busur tepi benua; busur tengah samudera; dan busur dasar samudera. Proses terbentuknya keempat busur tersebut adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Proses Pembentukan Gunung Api
1.
Pemekaran kerak samudera, lempeng bergerak saling menjauh sehingga memberikan kesempatan magma bergerak ke permukaan, kemudian membentuk busur gunung api tengah samudera.
2.
Tumbukan atau penunjaman antar kerak samudera menunjam di bawah kerak benua. Akibat gesekan antar kerak tersebut terjadi peleburan batuan dan lelehan batuan ini bergerak ke permukaan melalui rekahan kemudian membentuk busur gunung api di tepi benua.
3.
Kerak benua menjauh satu sama lain secara horizontal, sehingga menimbulkan rekahan atau patahan. Patahan atau rekahan tersebut menjadi jalan ke permukaan lelehan batuan atau magma sehingga membentuk busur gunung api tengah benua atau banjir lava sepanjang rekahan.
4.
Penipisan kerak samudera akibat pergerakan lempeng memberikan kesempatan bagi magma menerobos ke dasar samudera, terobosan magma ini merupakan banjir lava yang membentuk deretan gunung api perisai.
Sumber :www.google.com//php.gunungapi.2012
D.    Bahaya Gunung Api
Bahaya letusan gunung api dapat berpengaruh secara langsung (primer) dan tidak langsung (sekunder) yang menjadi bencana bagi kehidupan manusia.
Bahaya yang langsung oleh letusan gunung api adalah :
1. Leleran lava.
Leleran lava merupakan cairan lava yang pekat dan panas dapat merusak segala infrastruktur yang dilaluinya. Kecepatan aliran lava tergantung dari kekentalan magmanya, makin rendah kekentalannya, maka makin jauh jangkauan alirannya. Suhu lava pada saat dierupsikan berkisar antara 8000C-12000C. Pada umumnya di Indonesia, leleran lava yang dierupsikan gunung api, komposisi magmanya menengah sehingga pergerakannya cukup lamban sehingga manusia dapat menghindarkan diri dari terjangannya.
2. Aliran piroklastik (awan panas)
Aliran piroklastik dapat terjadi akibat runtuhan tiang asap erupsi plinian, letusan langsung ke satu arah, guguran kubah lava atau lidah lava dan aliran pada permukaan tanah (surge). Aliran piroklastik sangat dikontrol oleh gravitasi dan cenderung mengalir melalui daerah rendah atau lembah. Mobilitas tinggi aliran piroklastik dipengaruhi oleh pelepasan gas dari magma atau lava atau dari udara yang terpanaskan pada saat mengalir. Kecepatan aliran dapat mencapai 150 250 km/jam dan jangkauan aliran dapat mencapai puluhan kilometer walaupun bergerak di atas air/laut.
3. Jatuhan piroklastik
Jatuhan piroklastik terjadi dari letusan yang membentuk tiang asap cukup tinggi, pada saat energinya habis, abu akan menyebar sesuai arah angin kemudian jatuh lagi ke muka bumi. Hujan abu ini bukan merupakan bahaya langsung bagi manusia, tetapi endapan abunya akan merontokkan daun-daun dan pepohonan kecil sehingga merusak pertanian dan pada ketebalan tertentu dapat merobohkan atap rumah. Sebaran abu di udara dapat menggelapkan bumi beberapa saat serta mengancam bahaya bagi jalur penerbangan.
4. Lahar letusan
Lahar letusan terjadi pada gunung api yang mempunyai danau kawah. Apabila volume air dalam kawah cukup besar akan menjadi ancaman langsung saat terjadi letusan dengan menumpahkan lumpur panas.
5. Gas vulkanik beracun
Gas beracun umumnya muncul pada gunung api aktif berupa CO, CO2, HCN, H2S, SO2 dll, pada konsentrasi di atas ambang batas dapat membunuh.
Bahaya sekunder, terjadi setelah atau saat gunung api aktif:
1. Lahar hujan
Lahar hujan terjadi apabila endapan material lepas hasil erupsi gunung api yang diendapkan pada puncak dan lereng, terangkut oleh hujan atau air permukaan. Aliran lahar ini berupa aliran lumpur yang sangat pekat sehingga dapat mengangkut material berbagai ukuran. Bongkahan batu besar berdiameter lebih dari 5 m dapat mengapung pada aliran lumpur ini. Lahar juga dapat mengubah topografi sungai yang dilaluinya dan merusak infrastruktur.
2. Banjir bandang
Banjir bandang terjadi akibat longsoran material vulkanik lama pada lereng gunung api karena jenuh air atau curah hujan cukup tinggi. Aliran Lumpur disini tidak begitu pekat seperti lahar, tapi cukup membahayakan bagi penduduk yang bekerja di sungai dengan tiba-tiba terjadi aliran lumpur.
3. Longsoran vulkanik
Longsoran vulkanik dapat terjadi akibat letusan gunung api, eksplosi uap air, alterasi batuan pada tubuh gunung api sehingga menjadi rapuh, atau terkena gempa bumi berintensitas kuat. Longsoran vulkanik ini jarang terjadi di gunung api secara umum sehingga dalam peta kawasan rawan bencana tidak mencantumkan bahaya akibat longsoran vulkanik.




  1. METODE PENULISAN
Metode penulisan ini menggunakan metode penulisan yang benar dan tepat dimana  metodenya berupa studi kepustakaan dimana penulis memanfaakan berbagai literature dari buku internet untuk mendukung teori yang dibutuhkan untuk menyelesaikan penulisan ini. Studi kepustakaan ini dilakukan selama 3 hari yang dimulai dari tanggal 10 – 12 januari 2012.



  1. PEMBAHASAN

A.    Gambaran Wilayah Pulau Ternate
Secara fisik, Ternate memiliki karakter sebagai kota pulau terbesar dan paling pesat pertumbuhannya di wilayah Propinsi Maluku Utara. Secara geografis terletak di sebelah barat Pulau Halmahera dan di sebelah barat laut Pulau Tidore (sekitar 0075’LU-0090’LU dan 127007’BT-127013’BT). Secara administrasi Pulau Ternate terbagi menjadi 3 kecamatan yakni Kecamatan Pulau Ternate, Kecamatan Ternate Utara dan Kecamatan Ternate Selatan, dengan 45 desa. (Gambar 1 dan 2)
Ternate memiliki wilayah perairan yang cukup penting sejak jaman penjajahan. Pada masa itu, Kesultanan Ternate telah memiliki kekuatan politik dan ekonomi yang disegani, dan hingga kini dikenal sebagai "Spice Islands" of Maluku. Aspek fisik perairan ini membawa potensi tersendiri khususnya potensi sumber daya kelautan berupa hasil laut, maupun manfaat untuk transportasi laut yang menguntungkan secara ekonomi, apalagi laut di wilayah Kota Ternate adalah tipe laut dalam.
Di sana terdapat gunung berapi aktif yang sering mengakibatkan terjadinya letusan dan aliran lahar serta debu vulkanik secara teratur, yakni Gunung api Gamalama (1715 m). Letusan terbesar pada akhir abad ini terjadi pada bulan September 1980, yang menyebabkan lebih kurang 56.000 penduduknya mengungsi ke Kota Soasiu di Pulau Tidore. Jika dilihat dari sumber erupsinya, gunung api ini termasuk memiliki erupsi pusat dengan struktur danau kawah. Dengan demikian tergolong tipe Surtseyan. Gunung api tersebut terbentuk pada bagian tepi lempeng Laut Maluku, yang “menghilang” karena tertunjam oleh Lempeng Halmahera di sebelah timurnya dan Lempeng Sangihe di sebelah baratnya. (Andaya, Leonard. 1990)
Secara geomorfologi, terdapat lahan berkelerengan besar dengan volume luasan yang cukup besar, sehingga sulit dikembangkan untuk kegiatan permukiman dan industri.  Sebagai kota pulau yang didominasi lahan bergunung dan berbukit-bukit, menyebabkan pengembangan lahan untuk perkotaan terbatas di wilayah pesisir meskipun tidak menutup kemungkinan untuk pengembangan reklamasi kawasan pantai. Pulau Ternate memiliki kelerengan fisik terbesar lebih dari 40 % yang mengerucut ke arah puncak Gunung Gamalama terletak di tengah-tengah pulau. Di daerah pesisir rata-rata kemiringan sekitar 2%-8%. Jenis tanah dominan di Pulau Ternate, dan pulau-pulau lain di sekitarnya seperti Pulau Moti dan Pulau Hiri, adalah regosol. Sedangkan jenis tanah rensina ada di Pulau Mayau/Mayu, Pulau Tifure, Pulau Maka/Makian, Pulau Mano dan Pulau Gurida, yang terletak di sebelah barat Pulau Ternate. Kondisi tersebut merupakan ciri tanah pulau vulkanis dan pulau karang. Sementara itu jenis tanah kota Ternate dan sekitarnya adalah regosol yang memiliki bahan induk utama batu pasir, baik untuk kebutuhan material bangunan. Sedangkan tanah podsolik merupakan tanah batuan beku yang memiliki daya dukung terhadap beban bangunan yang sangat baik.

Picture1











Gambar 1. Wilayah Administrasi Batas Kelurahan di Pulau Ternate Maluku Utara (Anonim, 2009)
Secara geografi, pulau-pulau di sekitar Ternate memiliki jarak yang bervariasi, ada yang cukup dekat dan adapula yang cukup jauh. Dengan kondisi fisik yang demikian, maka perkembangan Kota Ternate, akan mengalami banyak tantangan dan kendala diakibatkan oleh faktor jarak tersebut, khususnya menyangkut strategi keterhubungan atau saling tunjang di antara pulau-pulau tersebut.
Kedalaman laut di Ternate bervariasi. Pada beberapa lokasi di sekitar Pulau Ternate, terdapat tingkat kedalaman yang tidak terlalu dalam, sekitar 10 meter sampai pada jarak sekitar 100 m dari garis pantai sehingga memungkinkan adanya peluang reklamasi. Pada bagian lain terdapat tingkat kedalaman yang cukup besar dan berjarak tidak jauh dari garis pantai yang ada. Adanya wilayah dengan laut dalam juga berpotensi sebagai areal penangkapan ikan yang cukup luas.
Keadaan klimatologis, mengenai curah hujan, temperatur, kelembaban udara merepresentasikan ciri umum iklim daerah tropis, yang disatu sisi mendukung untuk budidaya pertanian/ perkebunan ciri tanaman tropis, maupun untuk kebutuhan budidaya peternakan.  Berdasarkan data yang ada, suhu udara rata-rata harian berkisar antara 23 0C s/d 32 0C. Kondisi suhu tertinggi pada bulan-bulan Mei s/d Agustus, saat terjadi musim panas. Suhu terendah terjadi pada bulan-bulan Oktober s/d Desember saat terjadi musim penghujan. (BMKG Kota Ternate, 2008)
B.     Pengembangan Wilayah Ternate
Sebagai kota pulau yang didominasi lahan bergunung, pengembangan lahan untuk perkotaan terbatas di wilayah pesisir. meskipun tidak menutup kemungkinan untuk pengembangan reklamasi kawasan pantai. Keadaan laut dalam di Ternate, pada satu sisi menguntungkan untuk dikembangkan menjadi pelabuhan, namun di sisi yang lain, tidak memungkinkan untuk direklamasi dalam rangka memperluas areal darat. Hanya terdapat sebagian kecil daerah pesisir yang memungkinkan untuk dijadikan kawasan reklamasi, sebagaimana telah dikembangkan di Pulau Ternate.
Kondisi topografi pulau tersebut yang sebagian besar memiliki tingkat kelerengan besar, berakibat pada sulitnya mengembangkan atau memanfaatkan lahan untuk berbagai kegiatan budidaya, pemukiman, industri dan jasa / perdagangan. Perbukitan yang ada menjadi areal konservasi baik berupa hutan lindung maupun hutan konservasi.



Picture2Gambar 2. Kawasan Lindung di sekitar Pegunungan Pulau Ternate (Anonim, 2009)
Pulau Ternate memiliki kelerengan fisik terbesar lebih dari 40 % yang mengerucut ke arah puncak Gunung Gamalama terletak di tengah-tengah pulau. Adanya kawasan rawan bencana Gunung api Gamalama di Pulau Ternate, menyebabkan terdapatnya lahan-lahan dalam kelompok areal rawan bencana sehingga tidak dapat dikembangkan menjadi daerah budidaya.
Picture3Picture4Dari sejumlah lahan pesisir yang ada, masih banyak lahan yang belum dimanfaatkan sebagai lahan budidaya. Permukiman masyarakat secara intensif berkembang di sepanjang garis pantai mengelilingi Pulau Ternate. Wilayah di bagian utara pulau


Gambar 3. Rencana Pemanfaatan Lahan Pulau Ternate (Anonim, 2009)
nbaywsa



Gambar 4. Aliran Lahar di Pulau Ternate, Maluku Utara (Anonim, 2009)
direncanakan sebagai wilayah kawasan industri yang aman dari leleran lava, sementara itu justru di bagian yang menjadi jalur leleran lava merupakan daerah yang subur. Umumnya masyarakat Ternate mengolah lahan perkebunan dengan produksi rempah-rempah sebagai produk unggulan, di wilayah selatan kawasan hutan lindung dan daerah bahaya gunung api. Di wilayah tenggara, yang menghadap ke Pulau Tidore, dan selatan yang juga merupakan jalur leleran lava berkembang kawasan jasa dan perdagangan. Daerah kawasan hutan lindung terdapat di bagian tengah dan daerah bahaya gunung api, serta di bagian utara di daerah hutan bakau, tepi Pantai Sulamadaha. Sedangkan perikanan laut diperoleh di sekitar perairan pantai. (Gambar 2, 3 dan 4).
Sebagai kawasan yang termasuk dalam kelompok daerah rawan gempa bumi, maka di seluruh wilayah Kota Ternate memiliki resiko terhadap pengembangan tata bangunan. Adanya batasan ketinggian bangunan maksimum sampai 4 lantai, dimaksudkan untuk antisipasi dalam meminimumkan kerugian, baik kerugian nyawa maupun harta benda, apabila suatu saat terjadi gempa bumi dengan kekuatan yang cukup tinggi.
C.    Penanggulangan Bencana Gunung Api Gamalama
Dalam upaya mencegah atau meminimalkan potensi dampak masalah akibat bencana Gunung api Gamalama, di masa depan diperlukan perencanaan program-program mitigasi dan kesiapsiagaan terhadap bencana. Mitigasi ádalah upaya untuk mengeliminasi, menurunkan/meminimalkan risiko bahaya (hazard) bencana pada populasi yang rentan. Lingkup mitigasi meliputi eliminasi risiko, reduksi risiko, dan transmisi tanggung jawab. Fokus mitigasi adalah menghilangkan atau membatasi kemungkinan terjadinya bencana, dan menurunkan tingkat kerentanan populasi. Kesiapsiagaan terhadap potensi bencana adalah satu bentuk upaya meningkatkan kemampuan masyarakat untuk merespon efektif ancaman dan dampak bencana dan pulih dengan cepat dari dampak jangka panjang.
Dalam aspek kesiapsiagaan tehadap bencana, partisipasi aktif masyarakat memainkan peran yang paling penting. Pemerintah Kota Ternate dan LSM berkewajiban untuk bersama-sama mendorong dan memperkuat partisipasi masyarakat, termasuk untuk senantiasa menghidupkan memori kolektif sepanjang masa dari pengalaman dramatis dan dahsyat akibat bencana tersebut.
Upaya pencegahan bencana di perkotaan, diutamakan melalui built environment yaitu dalam lingkungan binaan. Pertumbuhan dan pengembangan perlu dilaksanakan dan dikelola dengan prinsip harmoni, seimbang, dan saling menguntungkan antara penduduk Ternate dan lingkungannya. Dengan memperhatikan rencana pemanfaatan ruang (Gambar 4), yang perlu mendapat perhatian dengan segera apabila terjadi letusan dan leleran lava, adalah kawasan pemukiman yang terdapat di sepanjang pantai barat ke selatan sampai ke timur Pulau Ternate, karena pada wilayah tersebut terdapat konsentrasi penduduk yang besar.
Dampak akibat bencana yang traumatis pada penduduk dan lingkungan akibat letusan dan gempa dapat sangat menghancurkan, karena bukan hanya mengakibatkan korban jiwa, material dan kerusakan lingkungan yang besar, tapi juga menguras sumber daya ekonomi yang diperuntukkan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Oleh karenanya mencegah dan meminimalkan dampak melalui program mitigasi dan kesiapsiagaan sangat penting untuk kelangsungan hidup dan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana seperti di Kota Ternate.
Langkah-langkah awal yang dilakukan adalah mengembangkan alternatif pendekatan-pendekatan mitigasi dan kesiapsiagaan terhadap bencana yang efektif dan efisien di Kota Ternate, yakni dengan melakukan analisis kebijakan tentang mitigasi dan kesiapsiagaan terhadap bencana dan survei asesmen infrastruktur dan fasilitas hunian/pemukiman, perkantoran, rumah sakit, fasilitas umum dan lingkungan, berkaitan dengan sistem pengamanan dan peringatan dini potensi bahaya bencana akibat aktivitas Gunung api Gamalama.
Upaya penanggulangan bencana letusan gunung api tersebut, terdapat beberapa hal yang harus dilakukan.
1. Sebelum terjadi letusan:
·         Pemantauan dan pengamatan kegiatan pada aktivitas gunung api,
·         Pembuatan dan penyediaan Peta Kawasan Rawan Bencana dan Peta Zona Resiko Bahaya Gunung api yang didukung dengan dengan Peta Geologi Gunung api,
·         Pembimbingan dan pemberian informasi gunung api,
·         Penyelidikan dan penelitian geologi, geofisika dan geokimia di gunung api,
·         Peningkatan sumberdaya manusia dan pendukungnya seperti peningkatan sarana dan prasarananya.
2. Saat terjadi letusan dilakukan:
·         Peringatan dini.
·         Pelaksanakan prosedur tetap penanggulangan bencana letusan gunung api,
·         Pelaksanaan evakuasi penduduk ke tempat-tempat aman yang telah disiapkan sebelumnya,
3. Setelah terjadi letusan dilakukan:
·         Menginventarisir data, mencakup sebaran dan volume hasil letusan,
·         Mengidentifikasi daerah yang terancam bahaya,
·         Memberikan saran penanggulangan bahaya,
·         Memberikan penataan kawasan jangka pendek dan jangka panjang,
·         Memperbaiki fasilitas pemantauan yang rusak,
·         Menurunkan status kegiatan, bila keadaan sudah menurun,
·         Melanjutkan memantauan rutin.
Bilamana terjadi peningkatan aktivitas gunung api, maka prosedur tetap tingkat kegiatan gunung api adalah sebagai berikut :
1.      Aktif Normal (Level I): Kegiatan gunung api berdasarkan pengamatan dari hasil visual, kegempaan dan gejala vulkanik lainnya tidak memperlihatkan adanya kelainan.
2.      Waspada (Level II): Terjadi peningkatan kegiatan berupa kelainan yang tampak secara visual atau hasil pemeriksaan kawah, kegempaan dan gejala vulkanik lainnya.
3.      Siaga (Level III): Peningkatan semakin nyata hasil pengamatan visual/pemeriksaan kawah, kegempaan dan metoda lain saling mendukung. Berdasarkan analisis, perubahan kegiatan cenderung diikuti letusan.
4.      Awas (Level IV): Menjelang letusan utama, letusan awal mulai terjadi berupa abu/asap. Berdasarkan analisis data pengamatan, segera akan diikuti letusan utama



                                                                                                                              V.            KESIMPULAN DAN SARAN
A.    Kesimpulan
Dari studi literatur yang penulis lakukan maka dapat penulis mencoba untuk menarik kesimpulan sebagai berikut :
1.      Potensi letusan gunung Gamalama Ternate tidak dapat diprediksikan sehingga masyarakat Kota ternate khususnya harus tetap dalam kewaspadaan.
2.      Dalam upaya mencegah atau meminimalkan potensi dampak masalah akibat bencana Gunung api Gamalama, di masa depan diperlukan perencanaan program-program mitigasi dan kesiapsiagaan terhadap bencana

B.     Saran
Dari kesimpulan diatas maka penulis mencoba menyarankan :
Sebagai gunung yang berpotensi letusan maka sudah sewajarnya pemerintah Kota Ternate wajib mensosialisasikan tentang pentingnya mitigasi bencana letusan gunung merapi agar nantinya tidak masyarakat punya banyak pemahaman tentang gunung merapi.


DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2009. Rencana Detail Tata Ruang Kota Ternate. Badan Perencanaan Daerah Kota Ternate
BMKG. Kota Ternate. 2008.
http//www.docs-finder.com.pdf//php. F.S.A. 1890. de Clerq, Bijdragen tot de Kennis der Residentie van Ternate, Leiden. Diakses pada tanggal 10 januari 2012

http// www.google.com//php.Andaya, Leonard Y 1993. The world of Maluku: eastern Indonesia in the early modern period. Honolulu: University of Hawaii Press. ISBN 0824814908. Diakses pada tanggal 12 January 2012.
http//www.google.com//php.Hanna, Willard Anderson and Des Alwi 1990. Turbulent times past in Ternate and Tidore. Banda Naira: Yayasan Warisan dan Budaya. Diakses pada tanggal 12 januari 2012
http//www.google.com//php. Van Bemmelen, R.W. 1970. The Geology of Indonesia. Vol.1A General Geology. Martinus Nijhoff. The Hague. Diakses pada tanggal 12 januari 2012.









CURRICULUM VITAE
Nama                           : Sarif Robo
TTL                             : Ternate, 20 Februari 1990
Alamat                                    : Jl. Batu Angus, Kel. Kulaba Kec. Pulau Ternate
Riwayat Pendidikan   :
-          SD                   : SDN Inpres Kulaba                          1996 – 2002
-          SLTP               : SMP Negeri 5 Kota Ternate             2002 – 2006
-          SMA               : SMA Negeri 6 Kota Ternate             2006 – 2008
-          PT                    : UNKHAIR Ternate                          2009 – Sekarang
ü  Fakultas Pertanian
ü  Program Studi Ilmu Tanah
Karya Yang  Pernah Di Buat  :
·         Pemanfaatan Limbah Sayuran Kangkung Sebagai Bahan dasar Kompos di Kelurahan Gambesi Kota Ternate Selatan
·         Perbandingan Aborsi dari Pandangan Hukum Islam Dan Kedokteran
·         Sistem Agroforestry Sebagai Upaya Meningkakan Nilai Tambah Ekonomi Masyarakat Di Kec. Pulau Ternate.
Riwayat Organisasi     :
·         Anggota Pusat Informasi Konseling Maluku Utara   (2009 - 2010)
·         Kader Gerakan Mahasiswa Pemerhati Sosial             (2011 – Sekarang)

1 komentar:

  1. aslm wah ini blognya sarif ya, ini chaidir fahutan ipb, terimakasi artikenya sangat bermanfaat

    BalasHapus